Islam sebagai agama yang selalu memperhatikan kesejahteraan umatnya tentu tidak akan tinggal diam dalam menanggapi budaya ‘kotor’ yang terus menjalar dipelbagai bidang, Kalau diteliti suap yang dalam bahasa Arabnya riswah merupakan pebuatan yang zholim dengan memakan harta orang lain secara bathil yang jelas bukan miliknya. Sehingga para ulama sepakat bahwa suap merupakan pekerjaan yang diharamkan agama (syari’). Sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam surah al-Baqarah ayat 188:
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetauhi.
Dan sabda Rasulullah saw : pemberi suap dan penerima suap masuk dalam neraka, Dalam hadits yang lain Rasulullah saw. bersabda: Allah swt. melaknat pemberi suap penerima suap dan perantara keduanya.
Dalil ini jelas sekali menyatakan bahwa pemberi suap (râsyi), penerima uang suap (murtasyi) dan perantara keduanya (râisy) merupakan pekerjaan yang diharamkan oleh syari’ (agama) dan Imam Mazhab yang empat sepakat akan pengharaman riswah (suap) tersebut.
Adapun pemberian hadiah dari yang punya hak kepada petugas intansi dengan maksud tidak menyuap, tetapi untuk tercapainya hak yang diinginkannya dari sebuah intansi tersebut tergolong perbuatan yang diharamkan juga, karena ini tergolong suap (riswah) dalam bentuk majaz. Sebagiamana yang dijelaskan dalam kitab Tahqiq al-Qadiyah fi al-Fâriq baina al-Riswah wa al-Hadiyah karangan Allâmah Abd al-Ghani al-Nabilsi.
Bagaimana problema seperti yang dihadapi Andi, sehingga mengakibatkannya harus melakukan suap dikarenakan sulitnya mendapatkan hak dan mepetnya waktu? Di dalam majalah al-Wa’yu al-Islâmi diberitakan bahwa para ulama Al-Azhar berbeda pendapat dalam menaggapi problema suap (riswah) yang menjamur di dunia, terutama di Negara Mesir sendiri. Dr. Ali Jum’ah sebagai Mufti Mesir saat ini membolehkan riswah (suap) dengan beberapa syarat, antara lain tidak adanya cara lain ataupun penolong untuk mendapatkan hak tersebut, dan supaya lepasnya permasalahan berkepanjangan tersebut dari orang fasiq (baca; penerima suap). Hal ini baru dapat dilakukan jika terpenuhi syarat-syarat tersebut, dan kondisinya ketika itu memang sangat terjepit, sehingga baginya memilih yang lebih ringan diantara dua yang memudratkan (Irtikâb li akhaf al-dharurain) demi menjaga haknya. Adapun dasar hujjah Mufti Al-Azhar akan pendapatnya tersebut, yaitu dengan kaidah fiqh (qa’idah al-fiqhiyyah) yang terdapat dalam kitab al-Asbah wa an-Nazhoir karangan Imam Suyuthi as-Syafi’i: “Setiap yang haram diambil haram pula untuk diberikan” kecuali pada lima perkara, diantaranya suap (riswah) untuk mendapatkan haknya. Dan menguatkan pendapat tersebut Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya hasyiyah ‘ala isytibah dengan kaidah: “Memilih yang lebih ringan diantara dua yang memudratkan adalah wajib”. Dan argumentasi Dr. Ali Jum’ah yang lain dengan kaidah: “sesungguhnya kemudratan itu tergantung pada ukurannya” dengan memberikan contoh memakan bangkai itu haram dan tidak boleh memakannya kecuali ketika dalam kemudhratan. Jika kemudhratan itu telah hilang, maka kembali pada hukum asalnya yaitu haram.
Dan perihal permasalahan dosa yang terjadi dalam riswah (suap) tersebut, maka yang mendapat dosa hanya penerima suap (murtasyi) saja, sedangkan yang punya hak dalam hal ini orang yang memberikan riswah (râsyi) karena terpaksa tidak mendapat dosa. Alasan mengapa yang menerima riswah (suap) saja yang mendapat dosa, dikarenakan menahan hak orang lain secara bathil dan mengambil harta yang bukan haknya
Pendapat Mufti Al-Azhar ini ditanggapi oleh para ulama Al-Azhar sendiri, ada yang senada dengan pendapat beliau dan adapula yang membantah pendapat beliau secara terang-terangan, yang menurut mereka hal ini telah membuka satu pintu kejahatan dan akan sulit menutupinya kembali. Berikut diantara alasan para ulama Azhar menolak dibolehkannya praktek riswah:
- Dua masdar hukum islam; al-Quran dan Sunnah telah mengharamkan secara jelas dan tegas akan praktek riswah (suap) tanpa ada pengecualian. Maka dalil-dalil tersebut tidak dapat dikecualikan dengan perkataaan fuqoha’ (ulama Fiqh), bagaimanapun situasi dan kondisinya.
- Hadits Rasul tersebut menunjukkan bahwa yang pertama kali dilaknat Allah sebelum penerima suap (murtasyi) adalah pemberi suap (râsyi). Hal ini membuktikan bahwa pertanggungjawaban yang terbesar terletak pada pemberi suap (râsyi), sekalipun dari segi mendapat laknat Allah sama. Karena itu tidak dapat mengecualikan pemberi suap (râsyi) dalam hal dosa.
- Kemudhratan yang dijadikan alasan pembolehan terjadinya praktek riswah (suap) belum mencukupi syarat. Karena, sebagaimana yang disepakati Ijma’ ulama bahwa kemudhratan yang membolehkan penggunaan yang haram, jika tidak melakukan hal tersebut dirinya akan berbahaya yang dapat mengakibatkan kematian atau hilang salah satu anggota tubuhnya, bukan dikarenakan kesempitan dan kesulitan waktu.
- Kenapa dosa riswah (suap) tersebut hanya mengenai penerima suap (murtasyi) saja, kalau ditilik dari segi keuntungan lebih banyak didapat pembari suap (râsyi) dari peneriam suap (Murtasyi). Maka akan timbul pertanyaan kenapa penerima suap (murtasyi) tidak mendapat hal yang sama?
Diantara ulama yang senada dengan penadapat mufti Azhar, Dr. abdul ‘azim al-muth’ani; ustadz Dirosat al-’Ulya Jami’ah al-Azhar. Beliau berpendapat: “bahwa seorang yang terjepit untuk mendapatkan haknya dan dalam kondisi yang sangat mendesak sehingga mengharuskan melakukan riswah (suap), itu merupakan suatu rukhsoh (keringanan) baginya. Hal ini pun dapat dilakukan jika tidak ada cara lain dan penolong untuk mendapatkan haknya, sehingga pokok permasalahan tinggal pada murtasyi (penerima suap) saja, karena yang memiliki hak berada dalam dua kondisi; menyerahkan permasalahan ini kepada Allah (baca: tawakkal) dengan tidak melakukan riswah (suap)…dan ini lebih baik, atau melakukan riswah (suap) karena terpaksa dan pada hakekatnya sangat membenci pekerjaan riswah (suap) tersebut sehingga posisinya ketika itu sangat terjepit (‘uzur) sekali, hal ini juga dibolehkan. Sebagaimana terjadi pada orang yang sangat kelaparan ditengah hutan sehingga mengharuskannya memakan daging babi untuk menolak yang hal yang membahayakan bagi dirinya, tetapi ketika lapar itu telah hilang maka tidak boleh baginya meneruskan makanan tersebut hingga kenyang”.
Sekiranya mufti Azhar menjelaskan sedetail pendapat Dr. Abdul ‘azim, mungkin tidak ada yang membantah pendapat beliau Sekarang tinggal kita memikirkan apakah riswah (suap) yang dilakukan ketika ditilang polisi ditengah jalan termasuk yang memudhratkan atau tidak? Mari…Tanya nurani kita masing-masing!
semoga saja, suap yang ternyata menghilangkan keberkahan dari muka bumi ini harus di berantas sampai ke akar-akarnya, sehingga bukan hanya penerima suap saja yang diadili akan tetapi pelaku penyuap yang selama ini seperti di selamatkan baik oleh oknum yang tidak bertanggung jawab (ingat kasus penyuap yang melarikan diri keluar negeri) dapat segera ditindak dan diadili. semoga saja.
Oleh : Imam Punarko